Selasa, 07 Juni 2016

KEDISIPLINAN SHALAT BERJAMA’AH DALAM MEMBENTUK AKHLAKUL KARIMAH



Shalat menurut bahasa adalah doa, sedangkan menurut syariat sholat adalah ucapan atau perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat mempunyai pengertian mengkonsentrasikan akal pikiran kepada Allah untuk sujud kepada-Nya dan bersyukur serta meminta pertolongan kepadanya atau berarti doa.
Shalat menempati rukun kedua setelah membaca kedua kalimat syahadat, serta menjadi lambang hubungan yang kokoh antara Allah dan hamba-Nya. Allah mewajibkan kita mengerjakan shalat sebanyak lima kali dalam sehari. Akan tetapi setiap pelaksanaan dan praktik mengenai shalat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang yang mengikuti aturan yang sudah diperintahkan oleh Rasulullah Saw., namun ada juga yang tidak mengikuti aturan nabi.
 
Shalat jamaah adalah suatu ikatan pertalian yang terdiri dari imam dan ma’mum walaupun satu. Shalat jamaah merupakan kekhususan untuk umat sekarang ini. Jadi umat sebelum nabi Muhammad tidak disyariatkan adanya jamaah.
Menurut Muhammad bin Qosim dan Imam Rafi’i dalam kitab Fathul Qorib, hukum shalat berjamaah bagi laki-laki adalah sunnah mu’akkad. Sedangkan menurut Imam Nawawi shalat jamaah adalah fardu kifayah.
Dalam kitab i’anatuttholibin Imam Abi Bakar Utsman Syato’ menukil pendapatnya Imam Al Manawi berkata bahwa hikmah disyariatkannya jama’ah adalah terselenggaranya rangkaian kerukunan diantara orang-orang yang sholat, karena itu disyariatkan dilaksanakan di masjid supaya bisa saling bertemu antar tetangga di waktu-waktu sholat. Melaksanakan shalat lima waktu dengan berjamaah termasuk ibadah termulia dan cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kesempatan saling bertemu di masjid itulah sebagai langkah awal membangun kebersamaan dalam segala bidang, sehingga dalam diri mereka dan lingkungan masyarakat setempat terpancar siraman ruhani yang dapat membentuk akhlakul karimah.
Akhlakul karimah berasal dari dua kata yakni akhlak dan karimah. akhlak berarti budi pekerti, tingkah laku, perangai, sedangkan karimah berarti kemuliaan, kedermawanan, murah hati, dermawan. Selanjutnya Partanto dan Al Barry mendefinisikan akhlakul karimah sebagai akhlak mulia (agung atau luhur). Akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Maka dengan demikian, akhlakul karimah adalah sikap positif yang melekat pada diri seseorang yang diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan yang merupakan manifestasi keimanan dan keislamannya.
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.” 
 Pada shalat jamaah terkandung didalamnya makna ta`awun `alal biri wa taqwa (tolong menolong dalam kebajikan dan takwa) serta amar ma`ruf dan nahi mungkar.  Hal ini terlihat pada saat implementasinya, dimana kaum muslimin bersama-sama berdiri dihadapan Allah di dalam barisan (shaff) yang teratur  dengan dipimpin oleh seorang imam, ibarat sebuah bangunan yang kokoh sehingga mencerminkan kekuatan dan persatuan kaum muslimin.
Shalat berjama`ah merupakan bentuk penanaman akhlakul karimah yakni melahirkan rasa kelembutan dan kasih sayang sesama muslim, menghilangkan sifat kesombongan dan besar diri serta dapat mempererat ikatan persaudaran seagama (ukhuwah islamiyah) maka terjadilah interaksi langsung antara kalangan tua dengan yang muda dan antara orang kaya dan yang miskin.
Akhlak merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dengan Allah swt (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) tidak lahir begitu saja sebagai kodrat manusia, atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang serta manifetasi seumur hidup melalui pembelajaran atau pendidikan akhlak yang sistematis.
Pendidikan akhlak yang sistematis adalah pendidikan yang terdapat dalam sholat jamaah. Sebab didalamnya mengandung nilai  jasmani maupun rohani. Nilai jasmani merupakan efek dari adanya peraturan dhohir yang sudah di kemas dalam perspektif fikih seperti mulai ketika bersuci membersihkan diri dari hadas dan najis. Sedangkan nilai rohani merupakan efek dari adanya peraturan bathin yang sudah di kemas dalam perspektif tasawwuf seperti khusyuk dalam shalat berjamaah. Sehingga dengan peraturan dhahir dan bathin tersebut akan menimbulkan pengaruh positif seperti munculnya akhlakul karimah dalam diri seseorag.

Sumber:
Syaikh Zainudin Al Malibari, Fathul Mu’in, Semarang : Thoha Putra
Fuad Ifram al Bustani, Munjid Aththullahm, Beirut : Darul Masyriq, 1956
Hilmi Al-Khuli, Menyingkap Rahasia Gerakan-gerakan Shalat, Jogjakarta: Diva Press, 2012), cet. XVIII,
Lubna Mitsly, Kesalahan-kesalahan yang Paling Sering dilakukan Saat Shalat, Jogjakarta : Diva Press, 2011
Muhammad bin al-Qosim, Fathul Qorib, Semarang : Toha Putra
Fadhl Ilahim, Shalat Berjamaah bersama Rasulullah, Yogyakarta : Manhaj, 2010
A. Partanto, dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer Surabaya: Arkola, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar